Friday, February 8, 2019

SASTERAWAN NEGARA PEMAIN GULI? MEREKA BUKAN MEDIOCRE...



Ketika menulis sajak “Pulang Si Tenggang”, Prof. Dr. Muhammad Hj. Salleh belum lagi mengenal tradisi lisan dan bertulis bangsa Melayu; tetapi setelah dia mengenalnya sedikit, belum lagi mendalam, dia sedar bahawa tradisi Melayu itu mengutamakan pendidikan dan pembinaan peribadi bermoral tinggi, bukan manusia terpelajar yang tidak mempunyai pendidikan. Sebab pantun Melayu berkata: Timang tinggi-tinggi; sampai cucur atap; belum tumbuh gigi; pandai baca kitab. Itulah falsafah pedidikan bangsa Melayu. Dan ini ditegaskan lagi dalam pantun yang lain, kali ini untuk orang dewasa: Banyak orang menyemat atap; Mari disemat Kampung Ulu; Tuan umpama suratan kitab; Pagi petang baca tak jemu. Itulah nilai karya dalam kebudayaan Melayu, dan ini disedari agak lewat oleh Prof. Muhammad Hj. Salleh lalu disebutnya dalam syarahan perdana beliau (tahun 1989): “Hampir semua jenis karya yang telah saya teliti telah menyedarkan saya kepada hakikat bahawa karya yang indah dan baik adalah yang didaktik sifatnya” (Puitika Sastera Melayu: Satu Pertimbangan, hal. 34). Kalau dia sedar akan hal ini, dia tidak akan menulis sajak “Pulang Si Tenggang” kerana sajak itu tidak mempunyai unsur didaktik, tetapi kaya dengan unsur penderhakaan terhadap tradisi dengan penuh emosi dilafazkan dalam kata-kata, “Aku sudah belajar/ Jadi kurang ajar”. Adakah itu unsur didaktik? Tidak. Sekiranya “belajar jadi kurang ajar” itu merujuk kepada penentangannya terhadap budaya Barat, maka beliau telah membuktikan di tempat lain, dalam sajaknya “Baris-baris di Muzium Goethe” bagaimana dia menerima Goethe sebagai warisan bangsa Melayu, dan terpesona dengan kepintaran Raja Iblis yang bernama Mephistopheles itu. Bagaimana kita akan membaca sajak ini jika itu bukan tafsirannya? Dan ini dikuatkan lagi dengan beberapa sajak lain yang memuja Shakespeare (beliau menulis tentang King Lear dan lain-lain). Dia menerima warisan Barat, tetapi menolak warisan Islam, yang tidak wujud dalam sebarang sajaknya yang menjadi kemegahannya. Jika anda mahu bukti, silalah cari siapa di antara penyair Islam dan pujangga Islam yang pernah disebutnya, seperti dia dengan hormat dan penuh kagum menyebut Shakespeare dan Goethe (budak-budak pemain guli, kata Annemarie Schimmell, jika dibandingkan dengan Rumi yang tidak dikenali oleh pensajak ini).   Kata-kata Annemarie Schimmell mengingatkan saya kepada Tolstoy, yang mengutuk Shakespeare sebagai seorang pengarang yang “mediocre”.

Kutipan panjang daripada esei Tolstoy ini penting, oleh itu saya salin di sini.


My disagreement with the established opinion about Shakespeare is not the result of an accidental frame of mind, nor of a light-minded attitude toward the matter, but is the outcome of many years' repeated and insistent endeavors to harmonize my own views of Shakespeare with those established amongst all civilized men of the Christian world.

I remember the astonishment I felt when I first read Shakespeare. I expected to receive a powerful esthetic pleasure, but having read, one after the other, works regarded as his best: "King Lear," "Romeo and Juliet," "Hamlet" and "Macbeth," not only did I feel no delight, but I felt an irresistible repulsion and tedium, and doubted as to whether I was senseless in feeling works regarded as the summit of perfection by the whole of the civilized world to be trivial and positively bad, or whether the significance which this civilized world attributes to the works of Shakespeare was itself senseless. My consternation was increased by the fact that I always keenly felt the beauties of poetry in every form; then why should artistic works recognized by the whole world as those of a genius,—the works of Shakespeare,—not only fail to please me, but be disagreeable to me? For a long time I could not believe in myself, and during fifty years, in order to test myself, I several times recommenced reading Shakespeare in every possible form, in Russian, in English, in German and in Schlegel's translation, as I was advised. Several times I read the dramas and the comedies and historical plays, and I invariably underwent the same feelings: repulsion, weariness, and bewilderment. At the present time, before writing this preface, being desirous once more to test myself, I have, as an old man of seventy-five, again read the whole of Shakespeare, including the historical plays, the "Henrys," "Troilus and Cressida," the "Tempest," "Cymbeline," and I have felt, with even greater force, the same feelings,—this time, however, not of bewilderment, but of firm, indubitable conviction that the unquestionable glory of a great genius which Shakespeare enjoys, and which compels writers of our time to imitate him and readers and spectators to discover in him non-existent merits,—thereby distorting their esthetic and ethical understanding,—is a great evil, as is every untruth.
Altho I know that the majority of people so firmly believe in the greatness of Shakespeare that in reading this judgment of mine they will not admit even the possibility of its justice, and will not give it the slightest attention, nevertheless I will endeavor, as well as I can, to show why I believe that Shakespeare can not be recognized either as a great genius, or even as an average author.

Anda boleh bayangkan bagaimana kita telah ditipu oleh pandirisme Barat yang mengagungkan Shakespeare, padahal dia hanya seorang budak pemain guli, “a mediocre writer, that cannot be recognized either as a great genius, or even an average author.”  Untuk mendapat ulasan lanjut, sila rujuk Morris Weitz, Hamlet and the Philosophy of Literary Criticism (Faber paperback, 1972; cetakan pertama 1965; hal. 187-199).

Perhatikan kesimpulan Weitz ini:  “To question Tolstoy is not to refute him. Shakespeare may still be a mediocrity. But Tolstoy, it seems to me, offers not a shred of evidence or good argument to suppoort his case. Everything he claims, from his necessary and sufficient properties of a ‘true’ work of art to Shakespeare’s inflated and debased language, is completely open to fundamental debate”. 

Bukan hanya pandangan Tolstoy “is completely open to fundamental debate”, malah pandangan dan kesimpulan Weitz sendiri pun begitu juga; dan seterusnya pandangan para pengkritik yang dipilihnya untuk dibincang di dalam bukunya.  Untuk mengatakan Tolstoy “offers not a shred of evidence or good argument to support his case,” juga terbuka untuk dibahaskan dengan kritis, sebab kita pun mahu tahu apa maksud Weitz dengan “not a shred of evidence or good argument”.  Walaupun Weitz berkata, “to question Tolstoy is not to refute him”, dengan kesimpulan itu dia sebenarnya telah menolak sama sekali hujah Tolstoy “without a shred of evidence or good argument”. Untuk membuat keputusan demikian, ternyata Weitz menolak pengakuan Tolstoy bahawa dia mengambil masa yang lama dan membaca karya Shakespeare dengan teliti dalam bahasa asal dan dalam terjemahan untuk memastikan dia tidak tersilap, nampaknya tidak diterima oleh Weitz sebagai satu proses intelektual yang mantap yang membolehkan Tolstoy memberikan pendapatnya yang tepat. Esei Tolstoy adalah bukti yang jelas betapa beliau amat berhati-hati mengemkukakan hujah dan bukti daripada pembacaan yang teliti, oleh itu kesimpulan Weitz yang mengatakan Tolstoy tidak mempunyai hujah dan bukti adalah karut dan terlalu mengada-ada untuk melindungi Shakespeare supaya mitos yang dibina selama beratus tahun itu tidak runtuh.  Tolstoy terkenal dengan sifat cermatnya, seperti yang ditunjukkannya dalam kutipan panjang di atas. Bayangkan novel Perang dan Damai yang tebal itu disemak oleh beliau sebanyak 12 (dua belas) kali sebelum dicetak. Tidak masuk akal sama sekali untuk Weitz meragui kemampuan intelektual gergasi sastera dunia ini, semata-mata untuk melindungi Shakespeare. Weitz mengemukakan pendapat dua orang tokoh terkenal dalam sastera Inggeris, George Orwell dan G. Wilson Knight, sebagai contoh bagaimana dua orang pengkritik menghadapi Tolstoy. Tetapi kedua-duanya tidak mampu menolak hujah dan pembuktian Tolstoy. Sarjana dan pengkritik Malaysia perlu meneliti persoalan ini, terutama dari kalangan sasterawan negara yang terkenal cerdik dan cekap berfikir itu (seminar tentang pemikiran mereka kerap diadakan oleh Dewan Bahasa Pustaka). Jika anda berminat, anda bacalah sendiri perbincangan Weitz dalam bukunya. Kesimpulan yang saya dapat ialah: apabila sesuatu penilaian dibuat berasaskan hawa nafsu manusia, menjadikan dirinya ukuran segala nilai (man as the measure of values), maka hasilnya tetap berada dalam situasi yang dihadapi Sisyphus, kerja yang tidak pernah selesai dan usaha yang sia-sia.  Adakah ini merupakan kemuncak daripada pandirisme?

Sebagai perbandingan, saya salin di sini pandangan George Orwell tentang Tolstoy:

“It is not true, in the sense implied by Tolstoy, that Shakespeare is an unmoral writer. His moral code might be different from Tol-stoy's, but he very definitely has a moral code, which is appar-ent all through his work. He is much more of a moralist than, for instance, Chaucer or Boccaccio. He also is not such a fool as Tolstoy tries to make out. At moments, incidentally, one might say, he shows a vision which goes far beyond his time. In this connexion I would like to draw attention to the piece of criticism which Karl Marx — who, unlike Tolstoy, admired Shakespeare — wrote on Timon of Athens. But once again, what Tolstoy says is true on the whole. Shakespeare is not a thinker, and the critics who claimed that he was one of the great philosophers of the world were talking nonsense. His thoughts are simply a jumble, a rag-bag. He was like most Englishmen in having a code of conduct but no world-view, no philosophical faculty. Again, it is quite true that Shakespeare cares very little about probability and seldom bothers to make his characters coherent. As we know, he usually stole his plots from other people and hastily made them up into plays, often introducing absurdities and inconsistencies that were not present in the original. Now and again, when he happens to have got hold of a foolproof plot — Macbcth, for instance — his characters are reasonably consistent, but in many cases they are forced into actions which are completely incredible by any ordinary standard. Many of his plays have not even the sort of credibility that belongs to a fairy story. In any case we have no evidence that he himself took them seriously, except as a means of livelihood. In his sonnets he never even refers to his plays as part of his literary achievement, and only once men-tions in a rather shamefaced way that he has been an actor. So far Tolstoy is justified. The claim that Shakespeare was a profound thinker, setting forth a coherent philosophy in plays that were technically perfect and full of subtle psychological observation, is ridiculous.” [Daripada eseinya, “Tolstoy and Shakespeare”, terbit 1941].

Kita harap tidak seorang pun di antara sasterawan negara kita berada dalam keadaan yang dibayangkan oleh Tolstoy. Kita harap mereka bukan dari golongan mediocre. Tetapi soalnya ialah, jika seorang gergasi seperti Shakespeare boleh dicap sebagai mediocre oleh Tolstoy, bolehkah para sasterawan negara ini terlepas dari pencirian istimewa yang diberikan oleh Tolstoy itu?  Di sinilah relevannya laporan Panel Anugerah Sastera diberi perhatian.

Lihat pula bagaimana pandirisme diterjemahkan dalam laporan Panel Anugerah Sastera Negara. Pandirisme boleh menjelma dalam berbagai-bagai bentuk, yang jika tidak diperhatikan dengan cermat dan kritis, orang akan dengan mudah menganggapnya sebagai ciri intelektual. Inilah yang terjadi dalam laporan Panel Anugerah Sastera Negara. Perhatikan contoh retorik peragaan sebagai wajah pandirisme dalam kritikan sastera yang dipamerkan dengan bergaya dan mungkin memukau pembaca yang tidak tahu kepalsuan sihir kata-kata dalam bentuk retorik peragaan dalam Laporan 1991. Prof. Dr. Muhammad Hj. Salleh digambarkan begini: “Kepadanya pokok persoalan atau tema sesebuah puisi adalah ilmu” (hal. 12).  Ini suatu kesimpulan yang sangat bererti, tetapi kosong dari segi bukti. Apakah “jenis ilmu” yang terdapat dalam sajak “Pulang Si Tenggang” dan “Baris-baris di Muzium Goethe”, dua buah sajak yang dianggap karya masterpiece oleh pengkritik sastera (misalnya: Rahman Shaari, walaupun beliau tidak sedar wujudnya sajak kedua tentang Goethe itu)? Tiada siapa pun pembaca yang siuman, apatah lagi seorang ahli akademik yang berwibawa, akan mengatakan “Pulang Si Tenggang” sebuah “sajak ilmu”, manakala sajak kedua itu pula menyerlahkan dengan jelas pengetahuan Prof. Dr. Muhammad Hj. Salleh yang begitu cetek tentang Goethe (bandingkan pengetahuan yang mendalam Iqbal tentang penyair Jerman ini.)  Jadi gembar-gembur tentang ciri intelektual pensajak ini adalah sejenis khayalan, satu mitos yang sama standardnya dengan mitos ahli sihir Firaun yang berjaya menipu rakyat Mesir dengan sihir mereka. Demikianlah, segala deretan pujian dalam bentuk retorik peragaan yang dimuat dalam laporan ini, dari halaman 9-42, tidak sedikit pun menunjukkan sifat intelektual yang sebenar, sebagai seorang pemikir ulung seperti yang diisyaratkan oleh Panel dalam laporan mereka. Kesimpulan ini tentu saja boleh dicabar oleh sesiapa juga yang membaca dengan teliti karya pensajak ini.  Tetapi Panel, seperti biasa dalam laporannya yang lain, tidak terlepas dari kontradiksi. Perhatikan kesimpulan Panel ini: “Pada Muhammad, meskipun puisi bertitik tolak daripada hiburan melalui bahasa dan bentuk, namun hiburan itu terjalin secara kental dalam persoalan yang menuju ke arah makna-makna yang memperlihat kebijaksanaan.” hal. 12. (Huruf condong ditambah). Sekiranya kita boleh percaya rumusan Panel ini, dan menerimanya sebagai menggambarkan pendapat sebenar Prof. Dr. Muhammad Hj. Salleh, kita pula boleh membuat kesimpulan kita sendiri bahawa baik Panel mahu pun profesor ini amat keliru dan tersasar jauh dari segi makna ilmu yang difahami dalam Islam dan juga dalam falsafah Barat. Apa yang disebut dalam laporan itu adalah definisi sastera dalam teori Barat, bukan definisi ilmu. Tetapi nampaknya ini pun tidak boleh difahami oleh kedua-dua pihak, oleh itu kedua-duanya memberi pendapat mereka yang tidak berasas. Bagaimana pendapat begini boleh dijadikan asas untuk meletakkan pensajak ini ke dalam kategori penulis berilmu? Kita mesti selesaikan persoalan ini, kerana kesimpulan Panel dalam hal ini menjadi asas penilaian mereka seterusnya. Jika asasnya tidak betul, maka sudah pasti kesimpulannya tidak boleh diterima.

Inilah yang terjadi kepada Pak Pandir, walaupun beliau mengasaskan keputusan yang dibuatnya kepada pemerhatian bersifat empiri. Inilah yang kemudiannya melahirkan falsafah pandirisme, yang kini sudah diiktiraf sebagai falsafah satu-satunya yang menepati kemahuan kumpulan yang mewakili sebahagian besar masyarakat. Dalam dunia akademik dan kritikan sastera, pandirisme sudah dijadikan asas segala analisis, penilaian dan pengiktirafan dalam bidang kesusasteraasn dan lain-lain bidang yang berkaitan.  Kerana sudah diarusperdanakan, maka pandirisme sudah diterima sebagai dogma akademik dan kritikan sastera. Pandangan yang tidak mewakili pandirisme tidak  akan diterima sebagai sesuatu yang sah, oleh itu tidak boleh dijadikan ukuran dalam kritikan sastera dan lain-lain kegiatan yang memerlukan penilaian.  Jika ada di antara pembaca yang  tidak begitu faham tentang perkara ini, sila baca kembali pendahuluan dalam pos bertarikh 26/2/2013 tentang celebrating pandirisme dalam kritikan sastera.  Kehadiran pandirisme dalam dunia akademik dan kritikan sastera Melayu adalah suatu kenyataan yang terbentang jelas untuk dilihat oleh semua orang yang berminat dalam bidang ini.  Mereka tidak dapat melihatnya kerana tertutup oleh selubung kritikan Barat yang menjadi pegangan mereka, seperti Ratu Balqis tertutup mata hatinya kerana menyembah matahari, dan hanya mendapat kembali harga dirinya setelah menyelak kainnya dan ditegur oleh Nabi Sulaiman ‘a.s. bahawa itu hanya lantai berkilat, bukan air kolam. Sungguh cantik cerita ini untuk dijadikan teladan!  Bandingkan cerita ini dengan keterpesonaan Pak Pandir melihat timbunan padi hampa. Tidakkah itulah sifat kagum para sasterawan dan pengkritik ketika melihat karya sastera yang mereka sukai?  Bagaimanakah harga diri para sasterawan dan sarjana sastera ini dapat dikembalikan kepada mereka?  Sebenarnya tidak perlu, kerana mereka sudah meletakkan harga diri mereka sebagai pengikut dan penganut teori sastera Barat. Tanpa teori sastera Barat, mereka akan menjadi bisu, tidak berupaya berkata sesuatu yang boleh difahami mereka dan pembaca mereka.  Inilah kemuncak pandirisme dalam “kehidupan intelektual” para sasterawan dan sarjana sastera serta para pengkritik sastera yang sentiasa bising dalam seminar menyuarakan pandangan orang lain yang mereka pinjam, dan sering kali jiplak, dari buku-buku kritikan Barat yang belum tentu mereka faham dengan mendalam dasar akademiknya. Mereka sering bercakap tentang experimen, perubahan, kelainan, dan “penemuan baru” para sasterawan, padahal mereka sendiri menggunakan alat analisis yang sudah tidak bertaring lagi dari segi ilmiah dan sudah jauh ketinggalan zaman. Mereka megah dan sangat sombong menjadi pengikut yang ketinggalan zaman ini. Inilah kehebatan pandirisme dalam “kegiatan intelektual” di kalangan para sasterawan dan sarjana sastera.  Dilihat dalam konteks ini, ternyata pandirisme yang dipelopori oleh Pak Pandir itu memberi wajah cemerlang dalam pelestarian retorik peragaan dalam kritikan sastera, yang cukup berjaya memberikan senarai panjang tentang kehebatan “pemikiran” seseorang sasterawan negara dan lain-lain sasterawan yang sentiasa mencari kelainan, walaupun dari segi kualiti seni dan tahap pemikiran masih jauh ketinggalan. Sekali lagi, laporan Panel Anugerah Sastera Negara menjadi bukti dalam pelestarian pandirisme ini.  Sekiranya anda masih belum yakin mengapa pandirisme amat penting dalam kesusasteraan Melayu moden, sudah sah anda masih berada di peringkat tadika dalam memahami konsep ilmu. Dengan maklumat peringkat tadika dan pengetahuan secetek itulah anda menilai karya para sasterawan negara atau bukan sasterawan negara untuk menempatkan mereka di puncak pencapaian tertinggi, tidak boleh dicabar lagi, kerana anda sendiri tahu apabila mitos yang anda bina itu dicabar, semuanya akan bertaburan di lembah kepalsuan seperti yang dialami oleh ahli sihir Firaun ketika menghadapi kebenaran hakiki. Bezanya ialah, ahli sihir itu akhirnya tunduk kepada kebenaran setelah melihat dengan nyata kepalsuan sihir mereka. Para sasterawan dan sarjana sastera belum sampai ke peringkat itu, oleh itu kedudukan mereka jauh lebih rendah daripada kedudukan ahli sihir Firaun itu. Anda masih belum mengerti? Wajarlah Keris Mas menulis cerita pendeknya yang paling terkenal dengan memberinya judul, “Mereka Tidak Mengerti”.

No comments:

Post a Comment