Ketika menulis
sajak “Pulang Si Tenggang”, Prof. Dr. Muhammad Hj. Salleh belum lagi mengenal
tradisi lisan dan bertulis bangsa Melayu; tetapi setelah dia mengenalnya
sedikit, belum lagi mendalam, dia sedar bahawa tradisi Melayu itu mengutamakan
pendidikan dan pembinaan peribadi bermoral tinggi, bukan manusia terpelajar
yang tidak mempunyai pendidikan. Sebab pantun Melayu berkata: Timang
tinggi-tinggi; sampai cucur atap; belum tumbuh gigi; pandai baca kitab.
Itulah falsafah pedidikan bangsa Melayu. Dan ini ditegaskan lagi dalam pantun
yang lain, kali ini untuk orang dewasa: Banyak orang menyemat atap; Mari
disemat Kampung Ulu; Tuan umpama suratan kitab; Pagi petang baca tak jemu.
Itulah nilai karya dalam kebudayaan Melayu, dan ini disedari agak lewat oleh
Prof. Muhammad Hj. Salleh lalu disebutnya dalam syarahan perdana beliau (tahun
1989): “Hampir semua jenis karya yang telah saya teliti telah menyedarkan saya
kepada hakikat bahawa karya yang indah dan baik adalah yang didaktik sifatnya”
(Puitika Sastera Melayu: Satu Pertimbangan, hal. 34). Kalau dia sedar
akan hal ini, dia tidak akan menulis sajak “Pulang Si Tenggang” kerana sajak
itu tidak mempunyai unsur didaktik, tetapi kaya dengan unsur penderhakaan
terhadap tradisi dengan penuh emosi dilafazkan dalam kata-kata, “Aku sudah
belajar/ Jadi kurang ajar”. Adakah itu unsur didaktik? Tidak. Sekiranya
“belajar jadi kurang ajar” itu merujuk kepada penentangannya terhadap budaya
Barat, maka beliau telah membuktikan di tempat lain, dalam sajaknya
“Baris-baris di Muzium Goethe” bagaimana dia menerima Goethe sebagai warisan
bangsa Melayu, dan terpesona dengan kepintaran Raja Iblis yang bernama
Mephistopheles itu. Bagaimana kita akan membaca sajak ini jika itu bukan
tafsirannya? Dan ini dikuatkan lagi dengan beberapa sajak lain yang memuja
Shakespeare (beliau menulis tentang King Lear dan lain-lain). Dia menerima
warisan Barat, tetapi menolak warisan Islam, yang tidak wujud dalam sebarang
sajaknya yang menjadi kemegahannya. Jika anda mahu bukti, silalah cari siapa di
antara penyair Islam dan pujangga Islam yang pernah disebutnya, seperti dia
dengan hormat dan penuh kagum menyebut Shakespeare dan Goethe (budak-budak
pemain guli, kata Annemarie Schimmell, jika dibandingkan dengan Rumi yang tidak
dikenali oleh pensajak ini). Kata-kata Annemarie Schimmell
mengingatkan saya kepada Tolstoy, yang mengutuk Shakespeare sebagai seorang
pengarang yang “mediocre”.
Kutipan panjang
daripada esei Tolstoy ini penting, oleh itu saya salin di sini.
My disagreement with the established
opinion about Shakespeare is not the result of an accidental frame of mind, nor
of a light-minded attitude toward the matter, but is the outcome of many years'
repeated and insistent endeavors to harmonize my own views of Shakespeare with
those established amongst all civilized men of the Christian world.
I remember the astonishment I felt when I first read Shakespeare. I expected
to receive a powerful esthetic pleasure, but having read, one after the other,
works regarded as his best: "King Lear," "Romeo and
Juliet," "Hamlet" and "Macbeth," not only did I feel
no delight, but I felt an irresistible repulsion and tedium, and doubted as to
whether I was senseless in feeling works regarded as the summit of perfection
by the whole of the civilized world to be trivial and positively bad, or
whether the significance which this civilized world attributes to the works of
Shakespeare was itself senseless. My consternation was increased by the fact
that I always keenly felt the beauties of poetry in every form; then why should
artistic works recognized by the whole world as those of a genius,—the works of
Shakespeare,—not only fail to please me, but be disagreeable to me? For a long
time I could not believe in myself, and during fifty years, in order to test
myself, I several times recommenced reading Shakespeare in every possible form,
in Russian, in English, in German and in Schlegel's translation, as I was
advised. Several times I read the dramas and the comedies and historical plays,
and I invariably underwent the same feelings: repulsion, weariness, and
bewilderment. At the present time, before writing this preface, being desirous
once more to test myself, I have, as an old man of seventy-five, again read the
whole of Shakespeare, including the historical plays, the "Henrys,"
"Troilus and Cressida," the "Tempest,"
"Cymbeline," and I have felt, with even greater force, the same
feelings,—this time, however, not of bewilderment, but of firm, indubitable
conviction that the unquestionable glory of a great genius which Shakespeare
enjoys, and which compels writers of our time to imitate him and readers and
spectators to discover in him non-existent merits,—thereby distorting their
esthetic and ethical understanding,—is a great evil, as is every untruth.
Altho I know that the majority of people so firmly believe in the greatness
of Shakespeare that in reading this judgment of mine they will not admit even
the possibility of its justice, and will not give it the slightest attention,
nevertheless I will endeavor, as well as I can, to show why I believe that
Shakespeare can not be recognized either as a great genius, or even as an
average author.
Anda boleh
bayangkan bagaimana kita telah ditipu oleh pandirisme Barat yang mengagungkan
Shakespeare, padahal dia hanya seorang budak pemain guli, “a mediocre
writer, that cannot be recognized either as a great genius, or even an average
author.” Untuk mendapat ulasan lanjut, sila rujuk Morris Weitz, Hamlet
and the Philosophy of Literary Criticism (Faber paperback, 1972; cetakan
pertama 1965; hal. 187-199).
Perhatikan
kesimpulan Weitz ini: “To question Tolstoy is not to refute him.
Shakespeare may still be a mediocrity. But Tolstoy, it seems to me, offers not
a shred of evidence or good argument to suppoort his case. Everything he claims,
from his necessary and sufficient properties of a ‘true’ work of art to
Shakespeare’s inflated and debased language, is completely open to fundamental
debate”.
Bukan hanya
pandangan Tolstoy “is completely open to fundamental debate”, malah pandangan
dan kesimpulan Weitz sendiri pun begitu juga; dan seterusnya pandangan para
pengkritik yang dipilihnya untuk dibincang di dalam bukunya. Untuk
mengatakan Tolstoy “offers not a shred of evidence or good argument to support
his case,” juga terbuka untuk dibahaskan dengan kritis, sebab kita pun mahu
tahu apa maksud Weitz dengan “not a shred of evidence or good argument”.
Walaupun Weitz berkata, “to question Tolstoy is not to refute him”, dengan
kesimpulan itu dia sebenarnya telah menolak sama sekali hujah Tolstoy “without
a shred of evidence or good argument”. Untuk membuat keputusan demikian,
ternyata Weitz menolak pengakuan Tolstoy bahawa dia mengambil masa yang lama
dan membaca karya Shakespeare dengan teliti dalam bahasa asal dan dalam
terjemahan untuk memastikan dia tidak tersilap, nampaknya tidak diterima oleh
Weitz sebagai satu proses intelektual yang mantap yang membolehkan Tolstoy
memberikan pendapatnya yang tepat. Esei Tolstoy adalah bukti yang jelas betapa
beliau amat berhati-hati mengemkukakan hujah dan bukti daripada pembacaan yang
teliti, oleh itu kesimpulan Weitz yang mengatakan Tolstoy tidak mempunyai hujah
dan bukti adalah karut dan terlalu mengada-ada untuk melindungi Shakespeare
supaya mitos yang dibina selama beratus tahun itu tidak runtuh. Tolstoy
terkenal dengan sifat cermatnya, seperti yang ditunjukkannya dalam kutipan
panjang di atas. Bayangkan novel Perang dan Damai yang tebal itu disemak
oleh beliau sebanyak 12 (dua belas) kali sebelum dicetak. Tidak masuk akal sama
sekali untuk Weitz meragui kemampuan intelektual gergasi sastera dunia ini,
semata-mata untuk melindungi Shakespeare. Weitz mengemukakan pendapat dua orang
tokoh terkenal dalam sastera Inggeris, George Orwell dan G. Wilson Knight,
sebagai contoh bagaimana dua orang pengkritik menghadapi Tolstoy. Tetapi
kedua-duanya tidak mampu menolak hujah dan pembuktian Tolstoy. Sarjana dan
pengkritik Malaysia perlu meneliti persoalan ini, terutama dari kalangan
sasterawan negara yang terkenal cerdik dan cekap berfikir itu (seminar tentang
pemikiran mereka kerap diadakan oleh Dewan Bahasa Pustaka). Jika anda berminat,
anda bacalah sendiri perbincangan Weitz dalam bukunya. Kesimpulan yang saya
dapat ialah: apabila sesuatu penilaian dibuat berasaskan hawa nafsu manusia,
menjadikan dirinya ukuran segala nilai (man as the measure of values),
maka hasilnya tetap berada dalam situasi yang dihadapi Sisyphus, kerja yang
tidak pernah selesai dan usaha yang sia-sia. Adakah ini merupakan
kemuncak daripada pandirisme?
Sebagai
perbandingan, saya salin di sini pandangan George Orwell tentang Tolstoy:
“It is not
true, in the sense implied by Tolstoy, that Shakespeare is an unmoral writer.
His moral code might be different from Tol-stoy's, but he very definitely has
a moral code, which is appar-ent all through his work. He is much more of a
moralist than, for instance, Chaucer or Boccaccio. He also is not such a fool
as Tolstoy tries to make out. At moments, incidentally, one might say, he shows
a vision which goes far beyond his time. In this connexion I would like to draw
attention to the piece of criticism which Karl Marx — who, unlike Tolstoy,
admired Shakespeare — wrote on Timon of Athens. But once again, what
Tolstoy says is true on the whole. Shakespeare is not a thinker, and the
critics who claimed that he was one of the great philosophers of the world were
talking nonsense. His thoughts are simply a jumble, a rag-bag. He was like most
Englishmen in having a code of conduct but no world-view, no philosophical
faculty. Again, it is quite true that Shakespeare cares very little about
probability and seldom bothers to make his characters coherent. As we know, he
usually stole his plots from other people and hastily made them up into plays,
often introducing absurdities and inconsistencies that were not present in the
original. Now and again, when he happens to have got hold of a foolproof plot —
Macbcth, for instance — his characters are reasonably consistent, but in
many cases they are forced into actions which are completely incredible by any
ordinary standard. Many of his plays have not even the sort of credibility that
belongs to a fairy story. In any case we have no evidence that he himself took
them seriously, except as a means of livelihood. In his sonnets he never even
refers to his plays as part of his literary achievement, and only once
men-tions in a rather shamefaced way that he has been an actor. So far Tolstoy
is justified. The claim that Shakespeare was a profound thinker, setting forth
a coherent philosophy in plays that were technically perfect and full of subtle
psychological observation, is ridiculous.” [Daripada eseinya, “Tolstoy and
Shakespeare”, terbit 1941].
Kita harap
tidak seorang pun di antara sasterawan negara kita berada dalam keadaan yang
dibayangkan oleh Tolstoy. Kita harap mereka bukan dari golongan mediocre.
Tetapi soalnya ialah, jika seorang gergasi seperti Shakespeare boleh dicap
sebagai mediocre oleh Tolstoy, bolehkah para sasterawan negara ini
terlepas dari pencirian istimewa yang diberikan oleh Tolstoy itu? Di
sinilah relevannya laporan Panel Anugerah Sastera diberi perhatian.
Lihat pula
bagaimana pandirisme diterjemahkan dalam laporan Panel Anugerah Sastera Negara.
Pandirisme boleh menjelma dalam berbagai-bagai bentuk, yang jika tidak
diperhatikan dengan cermat dan kritis, orang akan dengan mudah menganggapnya
sebagai ciri intelektual. Inilah yang terjadi dalam laporan Panel Anugerah
Sastera Negara. Perhatikan contoh retorik peragaan sebagai wajah
pandirisme dalam kritikan sastera yang dipamerkan dengan bergaya dan mungkin
memukau pembaca yang tidak tahu kepalsuan sihir kata-kata dalam bentuk
retorik peragaan dalam Laporan 1991. Prof. Dr. Muhammad Hj. Salleh
digambarkan begini: “Kepadanya pokok persoalan atau tema sesebuah puisi adalah
ilmu” (hal. 12). Ini suatu kesimpulan yang sangat bererti, tetapi kosong
dari segi bukti. Apakah “jenis ilmu” yang terdapat dalam sajak “Pulang Si
Tenggang” dan “Baris-baris di Muzium Goethe”, dua buah sajak yang dianggap
karya masterpiece oleh pengkritik sastera (misalnya: Rahman Shaari,
walaupun beliau tidak sedar wujudnya sajak kedua tentang Goethe itu)? Tiada
siapa pun pembaca yang siuman, apatah lagi seorang ahli akademik yang
berwibawa, akan mengatakan “Pulang Si Tenggang” sebuah “sajak ilmu”, manakala
sajak kedua itu pula menyerlahkan dengan jelas pengetahuan Prof. Dr. Muhammad
Hj. Salleh yang begitu cetek tentang Goethe (bandingkan pengetahuan yang mendalam
Iqbal tentang penyair Jerman ini.) Jadi gembar-gembur tentang ciri
intelektual pensajak ini adalah sejenis khayalan, satu mitos yang sama
standardnya dengan mitos ahli sihir Firaun yang berjaya menipu rakyat Mesir
dengan sihir mereka. Demikianlah, segala deretan pujian dalam bentuk retorik
peragaan yang dimuat dalam laporan ini, dari halaman 9-42, tidak sedikit pun
menunjukkan sifat intelektual yang sebenar, sebagai seorang pemikir ulung
seperti yang diisyaratkan oleh Panel dalam laporan mereka. Kesimpulan ini tentu
saja boleh dicabar oleh sesiapa juga yang membaca dengan teliti karya pensajak
ini. Tetapi Panel, seperti biasa dalam laporannya yang lain, tidak
terlepas dari kontradiksi. Perhatikan kesimpulan Panel ini: “Pada Muhammad,
meskipun puisi bertitik tolak daripada hiburan melalui bahasa dan
bentuk, namun hiburan itu terjalin secara kental dalam persoalan yang menuju ke
arah makna-makna yang memperlihat kebijaksanaan.” hal. 12. (Huruf condong
ditambah). Sekiranya kita boleh percaya rumusan Panel ini, dan menerimanya
sebagai menggambarkan pendapat sebenar Prof. Dr. Muhammad Hj. Salleh, kita pula
boleh membuat kesimpulan kita sendiri bahawa baik Panel mahu pun profesor ini
amat keliru dan tersasar jauh dari segi makna ilmu yang difahami dalam Islam dan
juga dalam falsafah Barat. Apa yang disebut dalam laporan itu adalah
definisi sastera dalam teori Barat, bukan definisi ilmu. Tetapi nampaknya
ini pun tidak boleh difahami oleh kedua-dua pihak, oleh itu kedua-duanya
memberi pendapat mereka yang tidak berasas. Bagaimana pendapat begini boleh
dijadikan asas untuk meletakkan pensajak ini ke dalam kategori penulis berilmu?
Kita mesti selesaikan persoalan ini, kerana kesimpulan Panel dalam hal ini
menjadi asas penilaian mereka seterusnya. Jika asasnya tidak betul, maka sudah
pasti kesimpulannya tidak boleh diterima.
Inilah yang
terjadi kepada Pak Pandir, walaupun beliau mengasaskan keputusan yang dibuatnya
kepada pemerhatian bersifat empiri. Inilah yang kemudiannya melahirkan falsafah
pandirisme, yang kini sudah diiktiraf sebagai falsafah satu-satunya yang
menepati kemahuan kumpulan yang mewakili sebahagian besar masyarakat. Dalam
dunia akademik dan kritikan sastera, pandirisme sudah dijadikan asas segala
analisis, penilaian dan pengiktirafan dalam bidang kesusasteraasn dan lain-lain
bidang yang berkaitan. Kerana sudah diarusperdanakan, maka pandirisme
sudah diterima sebagai dogma akademik dan kritikan sastera. Pandangan yang
tidak mewakili pandirisme tidak akan diterima sebagai sesuatu yang sah,
oleh itu tidak boleh dijadikan ukuran dalam kritikan sastera dan lain-lain
kegiatan yang memerlukan penilaian. Jika ada di antara pembaca yang
tidak begitu faham tentang perkara ini, sila baca kembali pendahuluan dalam pos
bertarikh 26/2/2013 tentang celebrating pandirisme dalam kritikan
sastera. Kehadiran pandirisme dalam dunia akademik dan kritikan sastera
Melayu adalah suatu kenyataan yang terbentang jelas untuk dilihat oleh semua
orang yang berminat dalam bidang ini. Mereka tidak dapat melihatnya
kerana tertutup oleh selubung kritikan Barat yang menjadi pegangan mereka,
seperti Ratu Balqis tertutup mata hatinya kerana menyembah matahari, dan hanya
mendapat kembali harga dirinya setelah menyelak kainnya dan ditegur oleh Nabi
Sulaiman ‘a.s. bahawa itu hanya lantai berkilat, bukan air kolam. Sungguh
cantik cerita ini untuk dijadikan teladan! Bandingkan cerita ini dengan
keterpesonaan Pak Pandir melihat timbunan padi hampa. Tidakkah itulah sifat
kagum para sasterawan dan pengkritik ketika melihat karya sastera yang mereka
sukai? Bagaimanakah harga diri para sasterawan dan sarjana sastera ini
dapat dikembalikan kepada mereka? Sebenarnya tidak perlu, kerana mereka
sudah meletakkan harga diri mereka sebagai pengikut dan penganut teori sastera
Barat. Tanpa teori sastera Barat, mereka akan menjadi bisu, tidak berupaya
berkata sesuatu yang boleh difahami mereka dan pembaca mereka. Inilah
kemuncak pandirisme dalam “kehidupan intelektual” para sasterawan dan sarjana
sastera serta para pengkritik sastera yang sentiasa bising dalam seminar
menyuarakan pandangan orang lain yang mereka pinjam, dan sering kali jiplak,
dari buku-buku kritikan Barat yang belum tentu mereka faham dengan mendalam
dasar akademiknya. Mereka sering bercakap tentang experimen, perubahan,
kelainan, dan “penemuan baru” para sasterawan, padahal mereka sendiri
menggunakan alat analisis yang sudah tidak bertaring lagi dari segi ilmiah dan
sudah jauh ketinggalan zaman. Mereka megah dan sangat sombong menjadi pengikut
yang ketinggalan zaman ini. Inilah kehebatan pandirisme dalam “kegiatan
intelektual” di kalangan para sasterawan dan sarjana sastera. Dilihat
dalam konteks ini, ternyata pandirisme yang dipelopori oleh Pak Pandir itu
memberi wajah cemerlang dalam pelestarian retorik peragaan dalam kritikan sastera,
yang cukup berjaya memberikan senarai panjang tentang kehebatan “pemikiran”
seseorang sasterawan negara dan lain-lain sasterawan yang sentiasa mencari
kelainan, walaupun dari segi kualiti seni dan tahap pemikiran masih jauh
ketinggalan. Sekali lagi, laporan Panel Anugerah Sastera Negara menjadi bukti
dalam pelestarian pandirisme ini. Sekiranya anda masih belum yakin
mengapa pandirisme amat penting dalam kesusasteraan Melayu moden, sudah sah
anda masih berada di peringkat tadika dalam memahami konsep ilmu. Dengan
maklumat peringkat tadika dan pengetahuan secetek itulah anda menilai karya
para sasterawan negara atau bukan sasterawan negara untuk menempatkan mereka di
puncak pencapaian tertinggi, tidak boleh dicabar lagi, kerana anda sendiri tahu
apabila mitos yang anda bina itu dicabar, semuanya akan bertaburan di lembah
kepalsuan seperti yang dialami oleh ahli sihir Firaun ketika menghadapi
kebenaran hakiki. Bezanya ialah, ahli sihir itu akhirnya tunduk kepada
kebenaran setelah melihat dengan nyata kepalsuan sihir mereka. Para sasterawan
dan sarjana sastera belum sampai ke peringkat itu, oleh itu kedudukan mereka
jauh lebih rendah daripada kedudukan ahli sihir Firaun itu. Anda masih belum
mengerti? Wajarlah Keris Mas menulis cerita pendeknya yang paling terkenal
dengan memberinya judul, “Mereka Tidak Mengerti”.
No comments:
Post a Comment